Sabtu, 10 Maret 2018

Celoteh Si Tunggal (Ayah)




Teruntuh seorang figur yang lemah akan perasaan dan patuh akan logika
Teruntuk seorang figur yang menyembunyikan keringat dan lelahnya
Yang semangatnya terlukiskan dari raut wajah

Ayah, kini aku telah beranjak dewasa
Berdiri tegak untuk melangkah maju
Menghempas kepiluan menjadi semu

Engkau yang pergi dan engkau yang berjuang
Tinggalkan asa hingga kerinduan
Menghenyapkan rasa yang hilang
Mengerahkan tenaga walau upah tak sepadan
Dengan tegar bahkan tanpa penyesalan
Meski tak bisa dipungkiri dalam hatiku
Ada sedikit dendam akan ketidak adilan

By: Chaniello

Ibu Fatmawati



Karena dia mendengar
Jeritan hati rakyat
Karena dia mendengar
Betapa habis tersayat
Tulang mereka,
Keringat mereka,
Nyawa mereka,
Habis dirundung sadis.
Karena habis takkan pernah bermuara ;
Usai, lerai, selesai,

Tumpah semua resahmu
Langit Jakarta ‘kan jadi penopangmu
Karena kakinya tertambat khawatir
Tak ingin sedihmu mendayu nyair

Gelap
Api padam
Damai
Menghening suara
Diam
Gemerlap
Cahaya datang
Pekik suara
Membaur
Benang bertemu benang
Kain menyatu kain
Merah dan putih
Terjahit sakti ditangan seorang wanita
Wanita dewa atau wanita surga?
Tapi, bunga teratai katanya.

Rasa hormat kami memiliki dua buah matahari
Satu matahari muncul setiap pagi
Satu matahari muncul untuk bumi pertiwi
Terimakasih, Ibu Fatmawati.

Sang bunga teratai yang abadi.
Tubuh bumi bergerak sekencang kibarannya diatas tiang
Khidmat kala teringat betapa sedih apa itu berjuang
Untuk bangsa,
Untuk penerus penerusnya,
Untukmu,
Potret kehidupan. 

By: Chaniello       

             

Jatuh!




Tuan,
Lidahku terasa kelu karena sesuatu
Yang terkubur dalam memori
Yang rasanya tak pantas untuk diberi tahu
Sesuatu yang tertimbun didalam benak
Sesuatu yang hangat
Sesuatu yang kadang bisa menjadi sepanas bara
Sesuatu yang indah namun kadang menjadi sembilu

Ingin rasanya untuk berbicara
Ingin rasanya untuk bertahu
Namun ternyata nyaliku tidak bersekutu
Jatuh cinta namanya, kata orang
Menyenangkan, kata orang
Biarkan itu mengalir, kata orang
Tapi lidah ini tetap saja kaku

Tuan,
Aku sampaikan ini,
Pesan ini
Disaat ini
Padamu, aku jatuh!

By: Chaniello

Kamu, Canduku!




Mencintaimu adalah candu
Yang dimana sakitnya
Hingga ke tulang-tulang
Jika kamu pergi..
Jauh, tak kembali..

Merindumu adalah candu
Membuat pikiranku melayang
Entah kemana, jauh melintasi angkasa
Menggapainya akupun tak kuasa

By: Chaniello

Pengamen




Paginya hilang sudah merapuh
Guyur hujan tak lagi terasa
Tatkala hati berkata sungguh
Berat langkahnya meninggalkan asa

Ia mendengar kepakan kelelawar pada jingga menjemput
Ketika hembusan menghasilkan vocal
Bagaikan seruling bersuara dalam tanah
Hitam merajuk pada kelam berpadu senyum kelu

Berwajah masam tak melirik barang secuil
Sombongnya manusia pada harta dipundaknya
Kepada gadis berkaleng kecil
Hanya mengaduh untuk kesekian kalinya
  
Waktu penutup melambaikan tangan
Uang receh dikumpulkan satu-persatu
Berapa pun hasil semalaman
Mengisi perut seraya bersatu

By: Chaniello